New Design

Recent Post

Selasa, 10 April 2012
Ahmed Deedat

Ahmed Deedat




"Do da'wah as the christians are working hard in Iran.Use my material and pray for me"
[Ahmed Deedat]


Ahmed Hoosen Deedat lahir di daerah Surat, India, pada tahun 1918. Ia tidak dapat berkumpul dengan ayahnya sampai tahun 1926. Ayahnya adalah seorang penjahit yang karena profesinya hijrah berimigrasi ke Afrika Selatan tidak lama setelah kelahiran Ahmed Deedat.

Tanpa pendidikan formal dan untuk menghindar dari kemiskinan yang sangat pedih, Ahmed Deedat pergi ke Afrika Selatan untuk dapat hidup bersama ayahnya pada tahun 1927. Perpisahan Deedat dengan ibunya pada tahun kepergiannya ke Afrika selatan menyusul ayahnya itu adalah saat terakhir ia bertemu ibunya dalam keadaan hidup karena beliau meninggal beberapa bulan kemudian.

Di negeri yang asing, seorang anak laki-laki kecil berusia 9 tahun tanpa berbekal pendidikan formal dan penguasaan bahasa Inggris mulai menyiapkan peran yang harus dimainkannya berpuluh-puluh tahun kemudian tanpa disadarinya.

Dengan ketekunannya dalam belajar, anak laki-laki kecil tersebut tidak hanya dapat mengatasi hambatan bahasa, tetapi juga unggul di sekolahnya. Kegemaran Deedat membaca menolongnya untuk mendapatkan promosi sampai ia menyelesaikan standar 6. Kurangnya biaya menyebabkan sekolahnya tertunda dan di awal usia 16 tahun untuk pertama kalinya is bekerja dalam bidang retail (eceran).

Yang terpenting dari ini semua adalah pada tahun 1936 sewaktu Ia bekerja pada toko muslim di dekat sebuah sekolah menengah Kristen di pantai selatan Natal. Penghinaan yang tak henti-hentinya dari siswa misionaris menantang Islam selama kunjungan mereka ke toko menanamkan keinginan yang membara pada diri anak muda tersebut untuk melakukan aksi menghentikan propaganda mereka yang salah.

Sudah ditakdirkan, Ahmed Deedat menemukan sebuah buku berjudul Izharul-Haq yang berarti mengungkapkan kebenaran. Buku ini berisi teknik-teknik dan keberhasilan usaha-usaha umat Islam di India yang sangat besar dalam membalas gangguan misionaris Kristen selama penaklukan Inggris dan pemerintahan India. Secara khusus, ide untuk menangani debat telah berpengaruh besar dalam diri Ahmed Deedat.

Dibekali dengan semangat yang baru ditemukannya ini, Ahmed Deedat membeli Injil pertamanya dan mulai melakukan debat dan diskusi dengan siswa-siswa misionaris. Ketika mereka mundur tergesa-gesa tidak beraturan dalam menghadapi argumen baliknya yang tajam, ia secara pribadi memanggil guru mereka dan bahkan pendeta-pendeta di daerah tersebut.

Keberhasilan-keberhasilan ini memacu Ahmed Deedat untuk berda'wah. Bahkan perkawinan, kelahiran anak, dan singgah sebentar selama tiga tahun ke Pakistan sesudah kemerdekaannya tidak mengurangi antusias atau keinginannya untuk membela Islam dari penyimpangan-penyimpangan yang memperdayakan dari para misionaris Kristen.

Dengan semangat misionaris untuk memproyeksikan kebenaran dan keindahan Islam, Ahmed Deedat membenamkan dirinya pada sekumpulan kegiatan lebih dari tiga dekade yang akan datang. Ia memimpin kelas untuk pelajaran Injil dan memberi sejumlah kuliah. Ia mendirikan As-Salaam, sebuah institut untuk melatih para dai Islam. Ahmed Deedat, bersama-sama dengan keluarganya, hampir seorang diri mendirikan bangunan-bangunan termasuk masjid yang masih dikenal sampai saat ini.

Ahmed Deedat anggota awal dari Islamic Propagation Centre International (IPCI) dan menjadi presidennya, sebuah posisi yang masih dipegangnya sampai hari ini. Ia menerbitkan lebih dari 20 buku dan menyebarkan berjuta-juta salinan gratis.

Ahmed Deedat mengirim beribu-ribu materi kuliah ke seluruh dunia dan berhasil melawan pengabar-pengabar Injil pada debat umum. Beberapa ribu orang telah menjadi Islam sebagai hasil usahanya.

Sebagai penghargaan yang pantas untuk prestasi yang bersejarah itu, ia mendapat penghargaaan internasional dari Raja Faisal tahun 1986. Penghargaan bergengsi yang sangat berharga dalam dunia Islam.




Tak ada sejumlah hadiah dan penghargaan dapat benar-benar menangkap intisari dan semangat seseorang untuk Islam, termasuk bunga rampai buku ini. Buku yang mendemonstrasikan himpunan analisis Ahmed Deedat diambil dari pertemuan-pertemuan pribadi dan pengalaman-pengalamannya melawan gangguan umat Kristen.

Semoga Allah memberkahinya untuk buku ini, seseorang untuk diikuti dan semua usahanya untuk Islam, Insya Allah.
Selasa, 11 Januari 2011
no image

nasihat yang jitu

Pada suatu hari Ibrahim bin Adham didatangi oleh seorang lelaki yang gemar melakukan maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabi’ah. Ia meminta nasehat kepada Ibrahim agar ia dapat menghentikan perbuatan maksiatnya.

Ia berkata, “Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya!”
Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata, “Jika kau mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa.”
Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu yang besar Jahdar balik bertanya, “Apa saja syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?”
“Syarat pertama, jika engkau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan rezeki Allah,” ucap Ibrahim.
Jahdar mengernyitkan dahinya lalu berkata, “Lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rezeki Allah?”
“Benar,” jawab Ibrahim dengan tegas. “Bila engkau telah mengetahuinya, masih pantaskah engkau memakan rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintahnya?”
“Baiklah,” jawab Jahdar tampak menyerah. “Kemudian apa syarat yang kedua?”
“Kalau kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya,” kata Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua membuat Jahdar lebih kaget lagi. “Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?”
“Benar wahai hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat maksiat?” tanya Ibrahim.
“Kau benar Aba Ishak,” ucap Jahdar kemudian. “Lalu apa syarat ketiga?” tanya Jahdar dengan penasaran.
“Kalau kau masih bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempar bersembunyi dari-Nya.”
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. “Ya Aba Ishak, nasihat macam apa semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?”
“Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rezeki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah kau melakukan semua itu?” tanya Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak bingung dan terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi’ah tidak berkutik dan membenarkannya.
“Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat keempat?”
“Jika malaikat maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal saleh.”
Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukannya selama ini. Ia kemudian berkata, “Tidak mungkin… tidak mungkin semua itu aku lakukan.”
“Wahai hamba Allah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?”
Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu.
“Yang terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat nanti, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!”
Lelaki itu nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh penyesalan. Dengan wajah penuh sesal ia berkata, “Cukup?cukup ya Aba Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah.”

Jahdar memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan khusyu’.
Ibrahim bin Adham yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu mendengar bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah terjadi pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi karena ulah gubernur yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.

Selanjutny, Ibrahim bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi’ah untuk menghadap. Setelah ia menghadap, Ibrahim pun berkata, “Wahai Jahdar, kini engkau telah bertaubat. Alangkah mulianya bila taubatmu itu disertai amal kebajikan. Untuk itu, aku ingin memerintahkan engkau untuk memberantas kezaliman yang terjadi di salah satu wilayah kekuasaanku.”
Mendengar perkataan Ibrahim bin Adham tersebut Jahdar menjawab, “Wahai Aba Ishak, sungguh suatu anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang terbaik untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap kemampuan yang diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah gerangan kezaliman itu terjadi?”
Ibrahim bin Adham menjawab, “Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi gubernur di sana.”
Betapa kagetnya Jahdaar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata, “Ya Allah, ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah adalah sebuah wilayah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku lakukan dengan gerombolanku. Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan keadilan. Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala rahmat-Nya.”

Kemudian, berangkatlah Jahdar bin Rabi’ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan amanah menegakkan keadilan. Pada akhirnya ia berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah yang taat hingga akhir hayatnya.
no image

hikmah diam di saat yang tepat

Dikisahkan bahwa ada seorang lelaki miskin yang mencari nafkahnya hanya dengan mengumpulkan kayu bakar lalu menjualnya di pasar. Hasil yang ia dapatkan hanya cukup untuk makan. Bahkan, kadang-kadang tak mencukupi kebutuhannya. Tetapi, ia terkenal sebagai orang yang sabar.

Pada suatu hari, seperti biasanya dia pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar. Setelah cukup lama dia berhasil mengumpulkan sepikul besar kayu bakar. Ia lalu memikulnya di pundaknya sambil berjalan menuju pasar. Setibanya di pasar ternyata orang-orang sangat ramai dan agak berdesakan. Karena khawatir orang-orang akan terkena ujung kayu yang agak runcing, ia lalu berteriak, “Minggir… minggir! kayu bakar mau lewat!.”

Orang-orang pada minggir memberinya jalan dan agar mereka tidak terkena ujung kayu. Sementara, ia terus berteriak mengingatkan orang. Tiba-tiba lewat seorang bangsawan kaya raya di hadapannya tanpa mempedulikan peringatannya. Kontan saja ia kaget sehingga tak sempat menghindarinya. Akibatnya, ujung kayu bakarnya itu tersangkut di baju bangsawan itu dan merobeknya. Bangsawan itu langsung marah-marah kepadanya, dan tak menghiraukan keadaan si penjual kayu bakar itu. Tak puas dengan itu, ia kemudian menyeret lelaki itu ke hadapan hakim. Ia ingin menuntut ganti rugi atas kerusakan bajunya.

Sesampainya di hadapan hakim, orang kaya itu lalu menceritakan kejadiannya serta maksud kedatangannya menghadap dengan si lelaki itu. Hakim itu lalu berkata, “Mungkin ia tidak sengaja.” Bangsawan itu membantah. Sementara si lelaki itu diam saja seribu bahasa. Setelah mengajukan beberapa kemungkinan yang selalu dibantah oleh bangsawan itu, akhirnya hakim mengajukan pertanyaan kepada lelaki tukang kayu bakar itu. Namun, setiap kali hakim itu bertanya, ia tak menjawab sama sekali, ia tetap diam. Setelah beberapa pertanyaan yang tak dijawab berlalu, sang hakim akhirnya berkata pada bangsawan itu, “Mungkin orang ini bisu, sehingga dia tidak bisa memperingatkanmu ketika di pasar tadi.”

Bangsawan itu agak geram mendengar perkataan hakim itu. Ia lalu berkata, “Tidak mungkin! Ia tidak bisu wahai hakim. Aku mendengarnya berteriak di pasar tadi. Tidak mungkin sekarang ia bisu!” dengan nada sedikit emosi. “Pokoknya saya tetap minta ganti,” lanjutnya.

Dengan tenang sambil tersenyum, sang hakim berkata, “Kalau engkau mendengar teriakannya, mengapa engkau tidak minggir?” Jika ia sudah memperingatkan, berarti ia tidak bersalah. Anda yang kurang memperdulikan peringatannya.”

Mendengar keputusan hakim itu, bangsawan itu hanya bisa diam dan bingung. Ia baru menyadari ucapannya ternyata menjadi bumerang baginya. Akhirnya ia pun pergi. Dan, lelaki tukang kayu bakar itu pun pergi. Ia selamat dari tuduhan dan tuntutan bangsawan itu dengan hanya diam.
no image

Gelar Buat Ali bin Abi Thalib

Pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyatakan bahwa dirinya diibaratkan sebagai kota ilmu, sementara Ali bin Abi Thalib adalah gerbangnya ilmu. Mendengar pernyataan yang demikian, sekelompok kaum Khawarij tidak mempercayainya. Mereka tidak percaya, apa benar Ali bin Abi Thalib cukup pandai sehingga ia mendapat julukan “gerbang ilmu” dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berkumpullah sepuluh orang dari kaum Khawarij. Kemudian mereka bermusyawarah untuk menguji kebenaran pernyataan Rasulullah tersebut. Seorang di antara mereka berkata, “Mari sekarang kita tanyakan pada Ali tentang suatu masalah saja. Bagaimana jawaban Ali tentang masalah itu. Kita bisa menilai seberapa jauh kepandaiannya. Bagaimana? Apakah kalian setuju?”
“Setuju!” jawab mereka serentak.
“Tetapi sebaiknya kita bertanya secara bergiliran saja”, saran yang lain. “Dengan begitu kita dapat mencari kelemahan Ali. Namun bila jawaban Ali nanti selalu berbeda-beda, barulah kita percaya bahwa memang Ali adalah orang yang cerdas.”
“Baik juga saranmu itu. Mari kita laksanakan!” sahut yang lainnya.
Hari yang telah ditentukan telah tiba. Orang pertama datang menemui Ali lantas bertanya, “Manakah yang lebih utama, ilmu atau harta?”
“Tentu saja lebih utama ilmu,” jawab Ali tegas.
“Ilmu adalah warisan para Nabi dan Rasul, sedangkan harta adalah warisan Qarun, Fir’aun, Namrud dan lain-lainnya,” Ali menerangkan.
Setelah mendengan jawaban Ali yang demikian, orang itu kemudian mohon diri. Tak lama kemudian datang orang kedua dan bertanya kepada Ali dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang lebih utama, ilmu atau harta?”
“Lebih utama ilmu dibanding harta,” jawab Ali.
“Mengapa?”
“Karena ilmu akan menjaga dirimu, sementara harta malah sebaliknya, engkau harus menjaganya.”
Orang kedua itu pun pergi setelah mendengar jawaban Ali seperti itu. Orang ketiga pun datang menyusul dan bertanya seperti orang sebelumnya.
“Bagaimana pendapat tuan bila ilmu dibandingkan dengan harta?”
Ali kemudian menjawab bahwa, “Harta lebih rendah dibandingkan dengan ilmu?”
“Mengapa bisa demikian tuan?” tanya orang itu penasaran.
“Sebab orang yang mempunyai banyak harta akan mempunyai banyak musuh. Sedangkan orang yang kaya ilmu akan banyak orang yang menyayanginya dan hormat kepadanya.”
Setelah orang itu pergi, tak lama kemudian orang keempat pun datang dan menanyakan permasalahan yang sama. Setelah mendengar pertanyaan yang diajukan oleh orang itu, Ali pun kemudian menjawab, “Ya, jelas-jelas lebih utama ilmu.”
“Apa yang menyebabkan demikian?” tanya orang itu mendesak.
“Karena bila engkau pergunakan harta,” jawab Ali, “jelas-jelas harta akan semakin berkurang. Namun bila ilmu yang engkau pergunakan, maka akan semakin bertambah banyak.”

Orang kelima kemudian datang setelah kepergian orang keempat dari hadapan Ali. Ketika menjawab pertanyaan orang ini, Ali pun menerangkan, “Jika pemilik harta ada yang menyebutnya pelit, sedangkan pemilik ilmu akan dihargai dan disegani.”
Orang keenam lalu menjumpai Ali dengan pertanyaan yang sama pula. Namun tetap saja Ali mengemukakan alasan yang berbeda. Jawaban Ali tersebut ialah, “Harta akan selalu dijaga dari kejahatan, sedangkan ilmu tidak usah dijaga dari kejahatan, lagi pula ilmu akan menjagamu.”

Dengan pertanyaan yang sama orang ketujuh datang kepada Ali. Pertanyaan itu kemudian dijawab Ali, “Pemilik ilmu akan diberi syafa’at oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala di hari kiamat nanti, sementara pemilik harta akan dihisab oleh Allah kelak.”
Kemudian kesepuluh orang itu berkumpul lagi. Mereka yang sudah bertanya kepada Ali mengutarakan jawaban yang diberikan Ali. Mereka tak menduga setelah mendengar setiap jawaban, ternyata alasan yang diberikan Ali selalu berbeda. Sekarang tinggal tiga orang yang belum melaksanakan tugasnya. Mereka yakin bahwa tiga orang itu akan bisa mencari celah kelemahan Ali. Sebab ketiga orang itu dianggap yang paling pandai di antara mereka.

Orang kedelapan menghadap Ali lantas bertanya, “Antara ilmu dan harta, manakah yang lebih utama wahai Ali?”
“Tentunya lebih utama dan lebih penting ilmu,” jawab Ali.
“Kenapa begitu?” tanyanya lagi.
“Dalam waktu yang lama,” kata Ali menerangkan, “harta akan habis, sedangkan ilmu malah sebaliknya, ilmu akan abadi.”
Orang kesembilan datang dengan pertanyaan tersebut. “Seseorang yang banyak harta”, jawab Ali pada orang ini, “akan dijunjung tinggi hanya karena hartanya. Sedangkan orang yang kaya ilmu dianggap intelektual.”

Sampailah giliran orang terakhir. Ia pun bertanya pada Ali hal yang sama. Ali menjawab, “Harta akan membuatmu tidak tenang dengan kata lain akan mengeraskan hatimu. Tetapi, ilmu sebaliknya, akan menyinari hatimu hingga hatimu akan menjadi terang dan tentram karenanya.”

Ali pun kemudian menyadari bahwa dirinya telah diuji oleh orang-orang itu. Sehingga dia berkata, “Andaikata engkau datangkan semua orang untuk bertanya, insya Allah akan aku jawab dengan jawaban yang berbeda-beda pula, selagi aku masih hidup.”

Kesepuluh orang itu akhirnya menyerah. Mereka percaya bahwa apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah benar adanya. Dan ali memang pantas mendapat julukan “gerbang ilmu”. Sedang mengenai diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tidak perlu diragukan lagi.
no image

khalifah umar dan keadilan

Suatu ketika Umar bin Khattab sedang berkhotbah di masjid di kota Madinah tentang keadilan dalam pemerintahan Islam. Pada saat itu muncul seorang lelaki asing dalam masjid , sehingga Umar menghentikan khotbahnya sejenak, kemudian ia melanjutkan.

“Sesungguhnya seorang pemimpin itu diangkat dari antara kalian bukan dari bangsa lain. Pemimpin itu harus berbuat untuk kepentingan kalian, bukan untuk kepentingan dirinya, golongannya, dan bukan untuk menindas kaum lemah. Demi Allah, apabila ada di antara pemimpin dari kamu sekalian menindas yang lemah, maka kepada orang yang ditindas itu diberikan haknya untuk membalas pemimpin itu. Begitu pula jika seorang pemimpin di antara kamu sekalian menghina seseorang di hadapan umum, maka kepada orang itu harus diberikan haknya untuk membalas hal yang setimpal.”

Selesai khalifah berkhotbah, tiba-tiba lelaki asing tadi bangkit seraya berkata; “Ya Amiirul Mu’minin, saya datang dari Mesir dengan menembus padang pasir yang luas dan tandus, serta menuruni lembah yang curam. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yakni ingin bertemu dengan Tuan.”
“Katakanlah apa tujuanmu bertemu denganku,” ujar Umar.
“Saya telah dihina di hadapan orang banyak oleh ‘Amr bin ‘Ash, gubernur Mesir. Dan sekarang saya akan menuntutnya dengan hukum yang sama.”
“Ya saudaraku, benarkah apa yang telah engkau katakan itu?” tanya khalifah Umar ragu-ragu.
“Ya Amiirul Mu’minin, benar adanya.”
“Baiklah, kepadamu aku berikan hak yang sama untuk menuntut balas. Tetapi, engkau harus mengajukan empat orang saksi, dan kepada ‘Amr aku berikan dua orang pembela. Jika tidak ada yang membela gubernur, maka kau dapat melaksanakan balasan dengan memukulnya 40 kali.”
“Baik ya Amiirul Mu’minin. Akan saya laksanakan semua itu,” jawab orang itu seraya berlalu. Ia langsung kembali ke Mesir untuk menemui gubernur Mesir ‘Amr bin ‘Ash.

Ketika sampai ia langsung mengutarakan maksud dan keperluannya.
“Ya ‘Amr, sesungguhnya seorang pemimpin diangkat oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Dia diangkat bukan untuk golongannya, bukan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, dan bukan pula untuk menindas yang lemah dan mengambil hak yang bukan miliknya. Khalifar Umar telah memberi izin kepada saya untuk memperoleh hak saya di muka umum.”
“Apakah kamu akan menuntut gubernur?” tanya salah seorang yang hadir.
“Ya, demi kebenaran akan saya tuntut dia,” jawab lelaki itu tegas.
“Tetapi, dia kan gubernur kita?”
“Seandainya yang menghina itu Amiirul Mu’minin, saya juga akan menuntutnya.”
“Ya, saudara-saudaraku. Demi Allah, aku minta kepada kalian yang mendengar dan melihat kejadian itu agar berdiri.”
Maka banyaklah yang berdiri.
“Apakah kamu akan memukul gubernur?” tanya mereka.
“Ya, demi Allah saya akan memukul dia sebanyak 40 kali.”
“Tukar saja dengan uang sebagai pengganti pukulan itu.”
“Tidak, walaupun seluruh masjid ini berisi perhiasan aku tidak akan melepaskan hak itu,” jawabnya .
“Baiklah, mungkin engkau lebih suka demi kebaikan nama gubernur kita, di antara kami mau jadi penggantinya,” bujuk mereka.
“Saya tidak suka pengganti.”
“Kau memang keras kepala, tidak mendengar dan tidak suka usulan kami sedikit pun.”
“Demi Allah, umat Islam tidak akan maju bila terus begini. Mereka membela pemimpinnya yang salah dengan gigih karena khawatir akan dihukum,” ujarnya seraya meninggalkan tempat.
‘Amr bin’Ash serta merta menyuruh anak buahnya untuk memanggil orang itu. Ia menyadari hukuman Allah di akhirat tetap akan menimpanya walaupun ia selamat di dunia.
“Ini rotan, ambillah! Laksanakanlah hakmu,” kata gubernur ‘Amr bin ‘Ash sambil membungkukkan badannya siap menerima hukuman balasan.
“Apakah dengan kedudukanmu sekarang ini engkau merasa mampu untuk menghindari hukuman ini?” tanya lelaki itu.
“Tidak, jalankan saja keinginanmu itu,” jawab gubernur.
“Tidak, sekarang aku memaafkanmu,” kata lelaki itu seraya memeluk gubernur Mesir itu sebagai tanda persaudaraan. Dan rotan pun ia lemparkan.
no image

meninggalkan yang haram demi halal

Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata, “Ada seorang wanita jalang yang kecantikannya melebihi wanita-wanita seusianya. Dia akan menyerahkan dirinya bila dibayar dengan 100 dinar (425 gram emas). Kemudian ada seorang pria yang melihatnya. Dia merasa kagum dan menginginkan si wanita tadi. Lalu si pria pergi dan bekerja keras membanting tulang dengan tangannya sendiri, sampai akhirnya dia berhasil mengumpulkan uang 100 dinar. Kemudian dia mendatangi si wanita dan berkata kepadanya, “Sungguh engkau telah membuatku kagum, kemudian aku pergi dan bekerja membanting tulang hingga berhasil mengumpulkan 100 dinar.”

Si wanita berkata, “Bayarkanlah uang itu pada kepala pelayan agar dicek keaslian dan ditimbang beratnya.” Setelah dibayarkan si wanita berkata lagi, “Masuklah.” Si wanita itu mempunyai rumah yang dihias dengan indah dan ranjang dari emas. Ketika sudah masuk, “Ayolah,” ajak si wanita. Si pria pun bersiap untuk melaksanakan hasratnya, namun saat itu pula dia ingat bagaimana nanti dia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tubuhnya jadi gemetar dan syahwatnya langsung hilang. Maka dia batalkan niatnya dan berkata, “Biarkanlah aku keluar dan pergi dan uang 100 dinar itu ambil saja untukmu!”

Dengan penuh perasaan heran si wanita bertanya, “Ada apa denganmu? Kau telah mengaku pernah melihatku dan kagum padaku serta menginginkan diriku. Kemudian engkau pergi bekerja membanting tulang hingga mengumpulkan 100 dinar, dan setelah engkau bisa mendapatkan aku, kamu kok jadi begini?” Si Pria menjawab, “Tidak ada yang mendorongku dalam hal ini selain rasa takutku kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aku membayangkan bagaimana saat nanti aku akan berdiri di hadapan-Nya mempertanggungjawabkan perbuatanku.” Si wanita berkata, “Bila engkau benar demikian, maka tidak ada yang berhak menjadi suamiku selain engkau.” Tetapi si pria menanggapinya dengan berkata, “Biarkan aku pergi saja.” Si wanita berkata, “Boleh, tetapi kau harus berjanji, bahwa nanti kau akan mengawiniku.” Si pria berkata lagi, “Tidak ada janji sampai aku keluar.” Si wanita tetap teguh memaksa, “Engkau harus berjanji, demi Allah, bila nanti aku datang kepadamu engkau harus mengawiniku.” “Ya, mungkin,” jawabnya singkat.

Lalu dia mengenakan pakaiannya kemudian terus pergi menuju negerinya. Dan si wanita pun berangkat meninggalkan dunia hitamnya dengan penuh penyesalan atas segala yang diperbuatnya. Sampai akhirnya ia tiba di negeri si pria itu. Lalu dia bertanya pada orang-orang di sana tentang nama dan alamat si pria itu. Orang-orang berkomentar, “Sekarang ini, sang ratu cantik itu datang sendiri bertanya tentang engkau.”

Saat si pria melihatnya, dia terkejut, kemudian kejang lalu mati dan jatuh di hadapan wanita itu. Maka si wanita berkata, “Aku sudah tidak mungkin mendapatkan orang yang satu ini, tapi apakah ia punya seorang kerabat?” Orang-orang menjawab, “Ya, ada, dia punya saudara laki-laki yang miskin.”

Si wanita tadi akhirnya berkata pada saudara laki-lakinya, “Aku ingin menikah denganmu, karena aku cinta pada saudaramu”. Akhirnya keduanya menikah dan dikaruniai tujuh orang anak.”
no image

Meraih Surga dengan Meninggalkan Dengki

Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saat kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, ‘Akan datang kepada kalian sekarang ini seorang laki-laki penghuni surga’. Tiba-tiba ada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang datang dengan bekas air wudhu masih mengalir di jenggotnya, dan tangan kirinya memegang terompahnya.”
“Keesokan hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti perkataannya yang kemarin. Lalu muncullah laki-laki itu lagi, persis seperti kedatangannya pertama kali. Di hari ketiga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian lagi, dan kembali yang datang adalah laki-laki itu lagi persis kejadian pertama. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak, Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash membuntuti laki-laki itu sampai ke rumahnya. Lalu Abdullah berkata kepadanya, ‘Aku telah bertengkar dengan ayahku, kemudian aku bersumpah untuk tidak mendatanginya selama tiga hari. Bila kau mengizinkan, aku ingin tinggal bersamamu selama tiga hari’. Dia menjawab, ‘Ya, boleh’.”

Anas berkata, “Abdullah menceritakan bahwa ia telah menginap di tempat laki-laki itu selama tiga hari. Dia melihat orang itu sama sekali tidak bangun malam (tahajjud). Hanya saja, setiap kali dia terjaga dan menggeliat di atas ranjangnya, dia selalu membaca zikir dan takbir sampai ia bangun untuk salat subuh. Selain itu–kata Abdullah–aku tidak pernah mendengarnya berbicara kecuali yang baik-baik.”
“Setelah tiga malam berlalu dan hampir saja aku menyepelekan amalnya, aku terusik untuk bertanya, ‘Wahai hamba Allah, sesungguhnya tidak pernah terjadi pertengkaran dan tak saling menyapa antara aku dan ayahku, aku hanya mendengar Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang dirimu tiga kali, bahwa akan datang kepada kalian sekarang ini seorang laki-laki penghuni surga, dan sebanyak tiga kali itu kaulah yang datang. Maka, aku pun ingin bersamamu agar aku bisa melihat apakah amalanmu itu dan nanti akan aku tiru. Tetapi, ternyata kau tidak terlalu banyak beramal. Apakah sebenarnya yang membuatmu bisa mencapai apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam’. Maka dia menjawab, ‘Aku tidak mempunyai amal kecuali yang telah engkau lihat sendiri’.

“Ketika aku hendak pulang, dia memanggilku, lalu berkata, ‘Benar amalku hanya yang kau lihat, hanya saja aku tidak mendapati pada diriku sifat curang terhadap seorang pun dari kaum muslimin. Aku juga tidak iri pada seseorang atas karunia yang telah diberikan Allah Subhaanahu wa Ta’ala kepadanya’. Maka Abdullah bin ‘Amr berkata, ‘Inilah amal yang telah mengangkatmu pada derajat yang tinggi dan inilah yang berat kami lakukan’.”
Breaking News
Loading...
Quick Message
Press Esc to close
Copyright © 2013 ..::Catatan Sang Mujahid Pujangga::.. All Right Reserved